Beberapa waktu lalu, saya bertemu seorang kandidat yang cukup menarik saat proses wawancara. Ia menyapa CEO dan Senior Manager berusia di atas 50 tahun dengan sebutan “Mas.”
Sekilas terdengar akrab dan hangat. Tapi di ruang interview profesional, terutama di konteks budaya Indonesia, panggilan seperti itu justru bisa menimbulkan tanda tanya besar. Apakah ia kurang sopan, atau justru terlalu santai untuk posisi yang sedang dilamar?
Attitude First, Then Trained Skills
Kita semua sepakat bahwa sikap (attitude) adalah fondasi penting dalam dunia kerja. Keterampilan bisa dilatih, tapi attitude jauh lebih sulit dibentuk.
Sayangnya, hal-hal seperti manners, cara berkomunikasi, dan etika menyapa jarang menjadi bagian dari kurikulum sekolah maupun kuliah. Padahal, first impression saat interview sering kali menjadi penentu utama apakah kandidat akan melangkah ke tahap berikutnya atau tidak.
Contextual Intelligence: Bukan Sekadar Cara Bicara
Gaya komunikasi seseorang tidak hanya menunjukkan kemampuan berbicara, tetapi juga menggambarkan tingkat contextual intelligence — kemampuan membaca konteks sosial dan budaya organisasi, serta menyesuaikan diri dengan tepat.
Dalam konteks Organizational Communication Theory, komunikasi di tempat kerja dipengaruhi oleh struktur hierarki, budaya organisasi, serta nilai sosial yang hidup di dalamnya. Artinya, cara seseorang menyapa atasan, rekan kerja, atau bawahan dapat mencerminkan seberapa baik ia memahami dan menyesuaikan diri dengan budaya perusahaan tersebut.
Multinational vs. Local Context
Di banyak multinational companies (MNCs) atau startup kecil, sapaan dengan nama langsung — bahkan kepada CEO — adalah hal yang lumrah. Tujuannya menciptakan suasana egaliter dan terbuka yang menekankan kolaborasi ketimbang hierarki.
Namun di Indonesia, konteksnya berbeda. Budaya lokal sangat menghormati usia, jabatan, dan senioritas. Menyapa CEO berusia 50 tahun dengan “Mas,” “Bro,” atau bahkan memanggil nama langsung tanpa izin bisa dianggap tidak sopan, meskipun niatnya hanya ingin tampak akrab.
Dalam budaya kerja Indonesia, sapaan seperti “Pak” atau “Ibu” masih menjadi bentuk penghormatan yang paling aman dan profesional.
Sapaan dan Persepsi Profesionalitas
Saat wawancara kerja, interviewer bukan hanya menilai jawaban dari pertanyaan yang diajukan, tapi juga bagaimana kandidat berinteraksi secara keseluruhan. Cara berjalan, cara duduk, hingga cara menyapa — semuanya memberi sinyal tentang attitude dan kematangan profesional seseorang.
Bahkan jika seseorang sangat kompeten, kesalahan kecil dalam etika komunikasi bisa menimbulkan kesan yang salah. Menyapa dengan cara yang tidak sesuai budaya organisasi bisa menimbulkan persepsi kurang hormat, kurang ajar, atau tidak peka terhadap konteks sosial.
Pelajaran Penting untuk Kandidat dan Profesional Muda
Kenali budaya organisasi sebelum wawancara. Pelajari bagaimana gaya komunikasi di perusahaan tersebut. Apakah formal, semi-formal, atau sangat santai?
Gunakan sapaan yang aman terlebih dahulu. Di Indonesia, gunakan “Pak” atau “Bu” untuk menunjukkan rasa hormat, terutama jika belum mengenal lawan bicara dengan baik.
Perhatikan konteks nonverbal. Nada bicara, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh juga bagian dari komunikasi yang mencerminkan attitude.
Adaptif, tapi jangan berlebihan. Jika di tengah percakapan lawan bicara mulai menggunakan sapaan yang lebih santai, kamu boleh menyesuaikan — tapi tetap dalam batas sopan.
Real Case: Ketika “Mas” Menjadi Salah Langkah
Kandidat yang saya temui sebenarnya sangat potensial: komunikatif, berpengalaman, dan energik. Namun, ketika ia menyapa CEO dengan kalimat, “Mas, saya mau izin presentasi portofolio saya ya,” ruangan menjadi sedikit hening.
Bukan karena kesalahannya fatal, tapi karena ada jarak budaya dan persepsi yang tidak terbaca dengan baik. CEO tersebut tersenyum ramah, tetapi setelah sesi interview, komentar yang muncul adalah:
“Kandidatnya bagus, tapi agak kurang sense of respect ya.”
Sebuah contoh kecil bahwa contextual intelligence — bukan hanya kemampuan teknis — sering kali menentukan hasil akhir.
Etika, Adab, dan Spirit Santri
Bertepatan dengan Hari Santri 2026, momen ini juga mengingatkan kita bahwa adab dan sopan santun adalah bagian penting dari profesionalitas. Dalam konteks dunia kerja modern, nilai-nilai seperti tawadhu (rendah hati), hormat pada yang lebih tua, dan bijak dalam berbicara justru menjadi keunggulan kompetitif yang langka.
Karena, di tengah dunia kerja yang serba cepat dan digital, orang yang beradab tetap akan menonjol.
Penutup
Setiap organisasi memiliki budayanya masing-masing, tapi satu hal pasti: Cara kamu menyapa mencerminkan siapa kamu.
Kadang yang membedakan kandidat profesional dan tidak — bukan jawabannya, tapi caranya menyapa.
📿 Selamat Hari Santri 2026 Semoga semangat sopan santun, hormat, dan adab terus hidup — tidak hanya di pesantren, tapi juga di ruang-ruang kerja profesional kita.
Leave A Comment